
Bismillaahirrahmaanirrahiim…
Selamatkan Hutan Mangrove Kita
oleh Laura Kosasi, Pendidikan Dokter 2009 FK Unand
25 Maret 2011
Tidak dapat dipungkiri bahwa dari hari ke hari, fenomena pemanasan global semakin meningkat. Hal ini tidak lain merupakan akibat tindakan manusia sendiri. Pemanasan global/ global warming sesungguhnya telah terjadi sejak seratus tahun terakhir. Hal ini ditandai dengan adanya kejadian peningkatan temperatur rata-rata atmosfer, laut, dan daratan Bumi. Temperatur rata-rata global pada permukaan Bumi telah meningkat 0.18 °C.
Meningkatnya temperatur global diperkirakan akan menyebabkan perubahan-perubahan pada keadaan fisiologis bumi seperti naiknya permukaan air laut akibat pengenceran es, meningkatnya intensitas kejadian cuaca yang ekstrim dengan hilangnya gletser, serta juga berpengaruh terhadap hasil pertanian dan punahnya berbagai jenis hewan. Selain itu pemanasan global ini pun berdampak buruk terhadap kesehatan manusia. Di dunia yang hangat, para ilmuan memprediksi bahwa lebih banyak orang yang terkena penyakit atau meninggal karena stress panas. Wabah penyakit yang biasa ditemukan di daerah tropis, seperti penyakit yang diakibatkan nyamuk dan hewan pembawa penyakit lainnya, akan semakin meluas karena mereka dapat berpindah ke daerah yang sebelumnya terlalu dingin bagi mereka. Saat ini, 45 persen penduduk dunia tinggal di daerah di mana mereka dapat tergigit oleh nyamuk pembawa parasit malaria. Persentase itu akan meningkat menjadi 60 persen jika temperatur terus meningkat. Penyakit-penyakit tropis lainnya juga dapat menyebar seperti malaria, demam dengue, demam kuning, dan encephalitis.
Besarnya dampak negatif dari pemanasan global ini, terutama bagi kelangsungan generasi muda dan anak cucu nantinya, membutuhkan kontribusi nyata dari kita berupa penanganan-penanganan secara langsung untuk menekan progresivitas dari pemanasan global ini sehingga ancaman dari pemanasan global pun dapat ditekan.
Banyak hal yang dapat dilakukan untuk mencegah peningkatan pemanasan global. Yaitu dengan pencegahan dari penyebab yang menimbulkannya ataupun dengan pemulihan kembali hal-hal yang telah rusak akibat terjadinya pemanasan global ini. Salah satu yang dapat mencegah dari terjadinya pemanasan global ini adalah hutan mangrove.
Hutan mangrove adalah sebutan untuk sekelompok tumbuhan yang hidup di daerah pasang surut di sepanjang pantai tropis dan subtropis. Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal woodland, vloedbosschen, atau juga hutan payau. Hutan mangrove ini juga sering disebut sebagai hutan bakau. Akan tetapi, penyebutan seperti itu kurang tepat karena di dalam ekosistem mangrove tersebut tidak hanya terdapat pohon bakau atau dalam bahasa latin disebut Rhizopora spp, namun juga terdapat tumbuhan jenis lain seperti Cerbera, Acanthus, Derris, Hibiscus, Calamus, dan lain-lain serta fauna-fauna yang berhabitat di sana.
Mangrove dikenal sebagai produsen utama, pelindung garis pantai, pembenihan dan habitat untuk berbagai biota, dan sumber daya hayati yang unik. Mangrove dapat mengendalikan erosi dan stabilisasi garis pantai. Tsunami baru-baru ini telah membuktikan pentingnya bakau sebagai pelindung garis pantai. Selain itu, mangrove menyediakan bahan organik dan nutrisi, yaitu nitrogen dan fosfor ke wilayah pesisir melalui dekomposisi material mangrove. Detritus mangrove setelah terbawa air laut merupakan nutrisi yang berpengaruh nyata bagi kehidupan pesisir dan laut (Rodelli dkk, 1984; Hatcher, dkk, 1989; Fleming, 1990; Marguiller dkk, 1997).
Ciri-ciri terpenting dari penampakan hutan mangrove, terlepas dari habitatnya yang unik, adalah:
· memiliki jenis pohon yang relatif sedikit;
· memiliki akar tidak beraturan (pneumatofora) misalnya seperti jangkar melengkung dan menjulang pada bakau Rhizopora spp., serta akar yang mencuat vertikal seperti pensil pada pidada Sonneratia spp. dan pada api-api Avicennia spp.;
· memiliki biji (propagul) yang bersifat vivipar atau dapat berkecambah di pohonnya, khususnya pada Rhizophora;
· memiliki banyak lentisel pada bagian kulit pohon.
Sedangkan tempat hidup hutan mangrove merupakan habitat yang unik dan memiliki ciri-ciri khusus, diantaranya adalah :
· tanahnya tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari atau hanya tergenang pada saat pasang pertama;
· tempat tersebut menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat;
· daerahnya terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat;
· airnya berkadar garam (bersalinitas) payau (2 - 22 o/oo) hingga asin.
Berdasarkan data Direktorat Jendral Rehabilitas Lahan dan Perhutanan Sosial (2001) dalam Gunarto (2004) luas hutan Mangrove di Indonesia pada tahun 1999 diperkirakan mencapai 8.60 juta hektar. Akan tetapi, sekitar 5.30 juta hektar dalam keadaan rusak. Sedangkan data FAO (2007) luas hutan Mangrove di Indonesia pada tahun 2005 hanya mencapai 3.062.300 ha atau 19% dari luas hutan Mangrove di dunia dan yang terbesar di dunia, melebihi Australia (10%) dan Brazil (7%). Di Asia sendiri luasan hutan mangrove Indonesia berjumlah sekitar 49% dari luas total hutan mangrove di Asia yang dikuti oleh Malaysia (10% ) dan Myanmar (9%). Namun demikian, diperkirakan luas hutan mangrove di Indonesia telah berkurang sekitar 120.000 ha dari tahun 1980 sampai 2005 karena alasan perubahan penggunaan lahan menjadi lahan pertanian (FAO, 2007).
Gambar 1. Persentasi hutan Mangrove yang tersebar di dunia berdasarkan negaranya, 2005.
Data Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KLH) RI (2008) berdasarkan Direktoral Jenderal Rehabilitasi lahan dan Perhutanan Sosial (Ditjen RLPS), Dephut (2000) luas potensial hutan mangrove Indonesia adalah 9.204.840.32 ha dengan luasan yang berkondisi baik 2.548.209,42 ha, kondisi rusak sedang 4.510.456,61 ha dan kondisi rusak 2.146.174,29 ha. Berdasarkan data tahun 2006 pada 15 provinsi yang bersumber dari BPDAS, Ditjen RLPS, Dephut luas hutan mangrove mencapai 4.390.756,46 ha.
Apapun bentuk datanya, yang jelas hutan mangrove kita telah banyak yang berkurang. Konversi lahan yang dilakukan oleh manusia terhadap areal hutan mangrove sebagai tambak, areal pertanian, dan pemukiman menyebabkan luas lahan hutan mangrove terus berkurang. Selain itu pemanfaatan hutan mangrove yang tidak bertanggung jawab sebagai bahan bangunan, kayu bakar, dan juga arang memberi kontribusi yang tidak sedikit terhadap kerusakan hutan mangrove.
Hal ini sangat menyedihkan karena hutan mangrove secara keseluruhan hanya mencakup kurang dari 1 persen dari luasan dasar laut samudra. Namun demikian, hutan mangrove ini dapat mengunci lebih dari separuh karbon yang terkubur di dasar laut. Hutan mangrove diperkirakan mengikat sekitar 1.650 juta ton karbondioksida per tahun, kurang lebih separuh dari emisi dari kegiatan transportasi global, hingga membuat mereka merupakan carbon sinks yang paling besar di bumi ini.
Akan tetapi kini kapasitasnya untuk menyerap emisi karbon berada dalam ancaman: habitatnya semakin hilang (habitat loss) dengan laju sekitar 7 persen per tahun, atau sampai 15 kali lebih laju dari yang dialami hutan-hujan tropis. Bahkan sekitar sepertiganya telah lenyap.
Dari data yang didapat, sekitar 50 persen umat manusia di bumi ini menghuni daerah pesisir sampai selebar 65 mil dari pantai, dan ini memberikan tekanan yang amat berat terhadap lingkungan pantai. Sejak tahun 1940-an, sebagian Asia telah kehilangan 90 persen hutan mangrovenya, melenyapkan daerah pemijahan dan asuhan bagi ikan-ikan, dan juga perlindungan bagi masyarakat lokal terhadap hantaman badai.
Potensi kontribusi laut sebagai carbon sink selama ini masih terabaikan, demikian menurut laporan hasil kerjasama UNEP (United Nations Environment Programme), FAO (Food and Agricultural Organization), dan UNESCO (United Nation Education, Scientific, and Cultural Organization). “Kapasitas untuk menguburkan karbon oleh habitat tumbuhan laut ini sangat fenomenal, 180 kali lebih besar dari pada rata-rata laju penguburan di samudra terbuka” demikian menurut peneliti. Hasilnya, dapat dikunci sekitar 50 – 70 persen karbon organik ke dasar samudra.
Untuk melindunginya, para penulis menyarankan agar dibentuk Dana Karbon Biru untuk membantu negara-negara berkembang melindungi habitat laut mereka. Carbon sinks di laut harus dapat pula diperdagangkan seperti halnya dengan hutan-hutan daratan, kata mereka. Bersama dengan skema PBB untuk mereduksi penggundulan hutan, habitat laut itu dapat mereduksi sampai 25 persen reduksi emisi yang dibutuhkan agar pemanasan global di bawah 2oC (3.5F).Christian Nellemann, menuturkan, “Kecenderungan sekarang menunjukkan bahwa ekosistem-ekosistem itu sebagian besar akan hilang dalam beberapa dekade mendatang”.
Untuk itu, dari sekarang, dibutuhkan kesadaran kita untuk mau memperbaiki ekosistem dunia yang sudah rusak tersebut. Atau mempertahankan dan mengembangkan lagi ekosistem yang masih terjaga, agar tidak terdegradasi secara alamiah dan spontan.
Pemahaman masyarakat yang masih minim terhadap pengetahuan besarnya manfaat hutan mangrove pun hendaknya dapat diatasi lagi dengan pemberian bimbingan dan pembelajaran serta mengajak masyarakat untuk sadar akan bahaya deselarasi hutan mangrove ini. Hal terpenting lagi, bagaimana dapat mengajak dan menyadarkan masyarakat, terutama yang menetap di daerah pantai, untuk ikut berpartisipasi dalam penanaman hutan mangrove. Fenomena yang berkembang kini justru ketidakpedulian terhadap lingkungan hidup dan individualistik yang tinggi sehingga kebanyakan masyarakat hanya mementingkan kepentingan pribadinya saja.
Dengan pemberian pemahaman dan pengetahuan yang dapat dilakukan melalui LSM-LSM yang ada, atau dengan turunnya mahasiswa ke lapangan dan mengajak masyarakat setempat untuk ikut serta mengembangkan dan melestarikan hutan mangrove ini, diharapkan dapat menekan pemanasan global yang hari demi hari semakin berkembang. Selain itu, juga diharapkan perhatian pemerintah yang lebih terhadap pengembangan dan pelestarian hutan mangrovedi Indonesia khususnya. Harapannya, dari keterlibatan seluruh elemen masyarakat ini, manfaat dari pengembangan hutan mangrove ini dapat dirasakan kelak dengan menekan pemanasan global secara nyata.
Daftar Pustaka
An, La.2009. Hutan Mangrove dan Luasannya di indonesia. http://mbojo.wordpress.com/2009/01/01/hutan-mangrove-dan-luasannya-di-indonesia/. diakses: Kamis, 24 Maret 2011, 22.00 WIB
Anggie. Mangrove Salah Satu Upaya Pencegahan Pemanasan Global. http://www.grahamitra.org/ver2/2011/01/13/mangrove-salah-satu-upaya-pencegahan-pemanasan-global/. diakses: Kamis, 24 Maret 2011, 22.00 WIB
Anonim. 2011. Mangrove Salah Satu Pencegah Pemanasan Global. http://www.grahamitra.org/ver2/2011/01/13/mangrove-salah-satu-upaya-pencegahan-pemanasan-global/. diakses: Kamis, 24 Maret 2011, 22.00 WIB
Anonim. 2009. Pengertian Pemanasan Global. http://www.g-excess.com/id/ pengertian-pemanasan-global-atau-global-warming.html. diakses: Kamis, 24 Maret 2011, 22.00 WIB
Anonim. 2008. Ekosistem Mangrove di Indonesia. http://www.mangrove-vc.com/p/home.html. diakses: Kamis, 24 Maret 2011, 22.00 WIB
Endahsuryani.2006. Tumbuhan Laut merupakan Kunci Rahasia untuk Pencegahan Pemanasan Global. http://endahsuryani.wordpress.com/2010/06/03/tumbuhan-laut-merupakan-kunci-rahasia-untuk-pencegahan-pemanasan-global/. diakses: Kamis, 24 Maret 2011, 22.00 WIB